album

album
pothos

Selasa, 19 April 2016

cerpen Tupai Jatuh

Tupai Jatuh


Mentari pagi bersinar cerah, burung-burung kecil riuh berkicau di balik rimbunnya dedaunan. Udara sejuk terasa mencengkeram kulit. Seekor tupai nampak terjatuh, saat melompat dari genteng menuju pohon mangga di depan sebuah rumah. Pluk! Begitu suaranya. Kucek, kucek, kucek, Satria nampak rajin mencuci bajunya. Ini hari minggu, bajunya harus bersih untuk dipakai sekolah besok pagi. Satria melangkah ke depan dan menjemur pakaiannya. Beres! Dia ke ruang tamu dan menyalakan televisi sambil tiduran di sofa. Ah! Isinya iklan semua! Tapi ada satu saluran yang kebetulan tidak menayangkan iklan, acaranya film remaja berjudul ‘Menulis Di Cerpenmu Dot Com’. Satria menikmati film itu.
Sesekali dia terkekeh-kekeh oleh aktor utamanya yang benar-benar sok gaul padahal IQ-nya tumpul. Namanya Jupiter Antariksa. Tak terasa film habis, Satria ketiduran. Hujan mulai turun, bahkan semakin deras. Ibu Satria sedang berada di sebelah kota, untuk mengurusi bisnis kateringnya. Suara petir menggelegar, Satria tak mendengar. Dia sedang asyik-asyiknya bermimpi menjadi pengusaha muda, pemilik dari 125 perusahaan ternama! Sore menjelang, Satria terbangun. Dia teringat jemurannya, dan dia ambil.. Hah? Kok masih basah seperti barusan dicuci? Dengan hati yang kecewa dia tinggalkan begitu saja jemurannya itu. Padahal besok pagi mau dipakai untuk sekolah! Klik! Suara Satria menutup pintu rumah. Pluk! Kembali nampak seekor tupai jatuh saat melompat dari pohon mangga keatas genteng rumah Satria. Mungkin saja tupai yang tadi! (sepandai-pandainya tupai melompat, akhirnya jatuh juga!)
Malam ini Satria sedang masak nasi goreng di dapur. Seng seng seng! Baunya lezat! Dia ambil garam sedikit, lalu penyedap rasa. Dia cicipi, ah kurang asin! Dia tambahkan lagi garam sedikit, ah masih tidak ada rasanya! Satria tidak sabar lagi, dia tambahin garam berkali-kali.. Sekalian! Pikirnya. Udah, tidak usah dicicipi! Restaurant saja tidak pernah dicicipi, kalau dicicipi dulu berarti pembelinya makan makanan sisa dari kokinya! Dia taruh nasi goreng di atas piring. Lalu dia sekarang menggoreng telur berbentuk mata sapi. Beres! Telur ditaruh di atas nasi goreng.
Tok tok tok! “Siapa?” Tanya Satria dari dapur.
“Aku, Edo!!” Teriak seseorang dari pintu depan. Satria melangkah ke pintu depan dan membuka pintu.
Kreekk! “Ada apa bro?” Tanya Satria pada Edo sahabatnya. Satria tidak sadar ada seekor kucing masuk dari sela-sela kakinya. Namanya Dingu, kucingya Nara tetangganya. Kucing itu naik meja, ditariknya telur dari atas piring nasi goreng dan dibawanya pergi bersembunyi.
“Aku mau nitip surat izin untuk sekolah, aku kurang enak badan! Besok aku tidak bisa masuk!” kata Edo.
“Aku besok juga tidak masuk Do! Seragamku belum kering. Tadi aku sudah nitip surat pada Hasan! Coba kamu nitip sama dia juga!” jawab Satria.
“Okelah!” kata Edo lalu pergi. Satria mengambil piringnya, hah? Ke mana telurnya? Pikir Satria sambil menengok ke kanan dan ke kiri, mirip penonton bulu tangkis di dalam stadion. Satria menggoreng telur lagi. Sukses! Dia taruh lagi ke atas nasi goreng di piringnya. Tit, tut, tit, tat, tit, tut! Suara ponselnya dari dalam kamar berbunyi memanggilnya. Satria berlari-lari kecil menuju ke kamarnya. Dingu naik ke meja, dia tarik lagi telur yang ada di atas piring nasi goreng milik Satria.
“Halloo Rin! Ada apa?” kata Satria pada ponselnya.
“Satria! Vania di situ apa tidak?” tanya Rin.
“Tidak ada!” jawab Satria. Tut, tut, tut, suara ponsel Rin ditutup.
Satria ke dapur menuju piringnya, hah? Telurnya tidak ada lagi! Kali ini dia tidak cuma menengok ke kiri dan ke kanan, bahkan juga ke atas dan ke bawah untuk mencari telurnya. Satria menggoreng telur lagi, ditaruh di atas piring dan tidak akan pernah dia tinggalkan lagi. Dingu (kucingnya Nara) muncul lagi saat tahu telur yang Satria goreng sudah matang. Mereka saling menatap dan beradu pandang. Meoongg! Suara Dingu mengajak bicara pada Satria sangat imut sekali. Di luar rumah seekor tupai jatuh lagi saat melompat dari atas genteng menuju pohon mangga… Pluk!
Hari ini Satria tidak masuk sekolah, gara-gara baju seragam sekolah yang dia cuci kemarin masih basah. Karena kehujanan waktu dia tertidur di depan televisi. Sebenarnya dia masih punya seragam satu lagi, tapi sudah bolong di kedua pantatnya. Ibu Satria masih mengantarkan katering ke kantor Pemda. Datanglah seorang pengemis tua di rumahnya, dia kasih selembar uang dua ribuan. Tak lama kemudian datang seorang pengamen, dia kasih selembar uang lima ribuan. Lalu datang seorang bapak-bapak dari panti sosial minta sumbangan, dia kasih selembar uang sepuluh ribuan.
Yang terakhir adalah seorang mbak-mbak SPG menawarkan parfum berbau lembut, dia beli dengan selembar uang dua puluh ribuan. Satria mengambil sebuah papan, dan dia tulis dengan cat ‘Tidak Menerima Tamu!’ lalu dia gantung di depan pintu pagar rumahnya. Tak berselang lama datanglah seorang petugas dari Kantor Pos, dia hendak memberikan surat wesel kiriman dari majalah remaja yang ternama. Karena sebuah artikel tentang remaja yang ditulis Satria akhirnya dimuat di majalah itu. Dan wesel itu adalah honornya. Akhirnya Pak Pos itu membatalkan niatnya! Ah, tidaaakk!! Seekor tupai jatuh lagi saat melompat dari pohon mangga ke atas genteng rumah Satria. Pluk!
Satria sengaja datang ke rumah Edo untuk menjenguk dia yang lagi sakit. Di sana sudah banyak teman-teman satu kelasnya yang sudah datang. Terlihat Hasan sesenggukan di samping Edo yang sedang berbaring lemah, dikelilingi teman-temannya. “Do, maafkan aku ya Do. Jika selama ini aku selalu membuatmu kesal ataupun kecewa. Kamu jangan mati dulu ya Do, sebab aku belum bisa melunasi hutang-hutangku kepadamu. Nanti kalau kamu mati, jangan jadi hantu yang seram-seram ya Do. Aku takut! Kamu jadi Cristiano Ronaldo saja yaa, atau jadi Stefan William. Biar terkenal!” kata Hasan sesenggukan seakan-akan menahan tangis.
“Do, cepat sembuh ya! Aku bawakan bebek goreng kesukaanmu! Ibuku tadi yang masak untukmu.” kata Satria.
“Kamu sakit apa sih Do?” tanya Zahra. “Aku sebenarnya tidak sakit teman-teman. Aku cuma lagi galau, sebab kemarin diputusin cewekku di fesbuk! Katanya aku kurang ganteng, kurang kaya, dan kurang pintar!! Dia memilih yang lain, padahal kami kenalnya cuma lewat fesbuk, dan belum pernah ketemuan!” jawab Edo ringkas dan terpercaya.
“Huuuuuu!!!” teriak mereka kompak mirip suporter bola timnas Indonesia. “Kirain sakit yang keren! Tidak tahunya sakit dunia maya!!” kata Zahra mengawali teman-temannya untuk bubar pulang semuanya. Ada yang menjewer, ada yang mencubit, ada yang menepuk, sampai ada yang bawa sapu segala untuk dilemparkan ke arah Edo yang berkelit menirukan gaya Naruto! Akhirnya Edo sakit betulan setelah teman-temannya pulang semua, akibat perbuatan mereka barusan. Ah, sial kamu Do!
Satria pulang ke rumahnya, dia melihat Dingu (kucingnya Nara) sedang mengejar-ngejar tupai di bawah pohon mangga miliknya. Tupai itu masih muda, jumlahnya empat. Ternyata mereka saudara kembar, dan masih labil kelihatannya. Ada yang naik pohon mangga, ada yang sembunyi di dekat batu, ada yang lari-lari di sekitar kaki Satria, dan yang satunya lagi berputar-putar menghindari terkaman Dingu! Satria memasuki rumahnya. Klik! Dan menutup pintunya. Pluk! Seekor tupai dewasa jatuh dari pagar rumah Satria. Itu bapaknya tupai-tupai labil tersebut.. Buah tidak akan jatuh jauh dari pohonnya! Begitu pula seorang anak yang tidak akan jauh-jauh dari sifat dan sikap bapaknya. (mungkin kamu juga!)

cerpen humoris

Cerita Biasa

Kukuruyuukk! Suara ayam jago milik Satria sedang berkokok pagi hari ini. Namanya Chicko, kepanjangan dari Chicken Cowok. Satria sudah bersiap-siap berangkat ke sekolahnya bersama motornya, tetapi dicegah oleh ibunya (Bu Ratna), “Mau berangkat sekarang? Kasih makan dulu ayammu dikandang belakang, kasihan mulai kemarin tidak pernah kamu kasih makan!” kata Bu Ratna kepada Satria putranya.
“Ah, Ibu… Satria terburu-buru nih sebab Satria ketua kelas, tidak boleh telat. Biar Si Chicko cari makan sendiri saja ah! Satria harus berangkat sekarang! Titik.” kata Satria lalu menstarter motor antiknya. “Kamu punya ayam tidak pernah diurusin, kasihan! Di kandangnya tidak ada makanan.. Kalau dilepas sulit menangkapnya. Kasih makan dulu Satria!” perintah Bu Ratna. “Satria sudah telat! Satria berangkat dulu Bu! Tadi sudah cium tangan.. ” teriak Satria yang langsung pergi menghilang menuju sekolahnya.
Pulang dari sekolah Satria langsung menuju ke dapur, tasnya dia lempar ke kursi sofa, pluk! Dia sangat lapar hari ini, gara-gara harus membawa buku-buku ke kantor dan membantu menata ruang laboratorium. Jadi tidak sempat untuk pergi ke kantin sekolah. Satria membuka penutup makanan di dapurnya. Hah? Ayam goreng? Banyak banget? Asyik! Satria mengambil dua potong paha ayam goreng (kiri dan kanan) lalu ditaruh di atas nasi di piringnya. Hap nyam, nyam, tak butuh waktu lama Satria menghabiskan kedua paha ayam itu.
“Habiskan Satria! biar kenyang dan sehat. Serta biar tambah pintar!” kata ibu Satria dari ruang tamu. Satria meraih sayap ayam dan beberapa potong daging ayam yang telah digoreng crispy tersebut, dan dilahap sampai habis ke dalam perutnya (kecuali tulang). Ah enak!
“Buuu! Ayam gorengnya enaaak banget!” kata Satria lalu minum air putih di dalam gelas kesayangannya.
“Itu Chicko! Ibu goreng! Tadi Ibu minta tolong Pak Anwar untuk menyembelihnya! Enak ya dagingnya Chicko ayam kamu? Padahal jarang kamu kasih makan, kasihan dia.. Mending Ibu goreng!!” kata Bu Ratna datar dan sangat jelas artikulasinya.
Buuhh!! Satria mengeluarkan air putih yang hampir ditelannya. Chicko? Dia segera berlari menuju kandang ayamnya yang terletak di belakang pintu dapur rumah. Dia mencari-cari Chicko di dalam kandangnya, tetapi tidak ada! “Ibuuuu!! Aduh Chicko…” teriak Satria sedih dan mengelus-elus perutnya sambil membayangkan Si Chiko ayam jago kesayangannya. (Kukuruyuukk! suara Chicko berkokok dari dalam perut Satria)
Satria dan Edo sedang nonton televisi di rumah Edo. Acara siaran langsung sepak bola timnas Indonesia melawan timnas Brazil. Di meja nampak ada dua gelas teh hangat dan sepiring pisang goreng yang masih panas membara. Namun sayang, televisi di rumah Edo gambarnya terlihat kurang jelas. Ada gambar pasukan semut kecil yang berbaris rapi berjalan di layarnya (bintik-bintik). Satria menyuruh Edo untuk memutar tiang antenanya agar gambar menjadi jelas. Edo menurutinya. Dia putar tiang antena ke kiri.
“Kurang jelas.. Masih kurang tepat!” jawab Satria dari depan televisi. Edo memutar tiang antena ke kanan.
“Gambarnya hilang! Kurang tepat memutarnya bro! Putar terus!” teriak Satria dari dalam rumah. Edo memutar-mutar terus tiang antena televisinya yang ada di luar rumah, kadang kekiri, kadang kekanan, bahkan diputar sampai 360 derajat tetapi hasilnya tidak ada. Gambar sepak bola berganti gambar semut yang lagi tawuran di jalanan. Edo putus asa, dia tendang tiang antena itu dengan kakinya mirip pemain bola betulan… Duk!
“Nah! Do, ada gambarnya!” teriak Satria dari dalam. Ada gambarnya? Edo menendang lagi tiang antena itu… Duk! Dukk! “Nah!! Sudah jelas Do gambarnya! Sudah jangan diputar lagi, ini sudah bagus! Indonesia menang 3-0!!” teriak Satria kegirangan dari dalam rumah Edo. Siapa yang memutar antenanya? Gambarnya jadi jelas? Edo bersemangat untuk menendang-nendang tiang antenanya. Duk! Duk! Duk! Duk! Sampai kaki Edo merah kebiruan dan mulai memar. “Bagus Do!! Sip! Sudah jangan diputar lagi, ini sangat jernih sekali gambarnya!!” kata Satria. Huft! Edo melangkah memasuki rumahnya dengan sedikit terpincang-pincang. Lalu dia duduk di dekat Satria, “Nah! Sekarang jernih! Kamu memutarnya tepat sekali!” … Huft!
Setelah menonton bola di rumah Edo, Satria beranjak pulang. Sedangkan Edo hendak pergi menuju warungnya Bu Asti untuk membeli obat nyamuk. Ketika berjalan di depan rumah Hasan, Edo melihat Hasan sedang berada di atas genteng rumahnya. Dia sedang sibuk membetulkan gentengnya yang bocor, sebab lagi musim hujan. Badannya yang gendut tak menghalanginya untuk bisa naik ke atas genteng. Edo mengendap-endap mendekati tangga yang dipakai Hasan. Syutt! Tangga diambil oleh Edo dan dibawanya ke gang kecil dekat rumah Hasan. Dia pun berlalu menuju warungnya Bu Asti. Beres! Hasan selesai membetulkan gentengnya. Kakinya mencari-cari pijakan tangga, tapi tidak ada! Dia mencoba sekali lagi menggapai-gapai dengan kakinya lebih dalam. Ah hampa! Tidak ada apa-apa!! Hasan berbalik arah, dia lihat di sekelilingnya, tangganya tidak ada!
“Bapaaakk!! Ibuuu!!! Tanggaaa…!!” Hasan berteriak-teriak. Padahal bapak ibunya sedang pergi dan tidak ada di rumah. Nara yang sedang lewat dia panggil.
“Nara!! Ambilkan tangga, aku mau turun!” Nara tersenyum, tangga? Mana ada tangga? Lagian cewek kok disuruh ambil tangga. “Emang Gue Pikirin!!” jawab Nara berlalu sambil cekikikan, hihi! Lia yang baru saja pulang les mencoba menolongnya, dia mencari-cari tangganya tapi tidak ada.
“Lompat saja Bang!” kata Lia polos. Hasan melotot, Lia langsung lari pulang ke rumahnya.
Pak RT lewat, “Saya masih ada rapat lingkungan!” kata Pak RT terlihat tergesa-gesa. Kali ini Edo yang lewat, Hasan memangil-manggil tapi Edo pura-pura tidak mendengar sambil menghitung-hitung uang di tangannya. “Brooo! Brooo!! Tolongin aku brooo!!!” Siang berganti sore, lalu sore berganti malam. Krik, krik, krik! Suara serangga malam menghiasi sekeliling rumah Hasan yang gelap gulita, karena tidak ada yang menyalakan lampu di rumahnya.
Tulalit, tulalit! Suara ponsel Satria berbunyi di dalam kamarnya. Satria yang saat ini sedang berada di ruang tamu segera melangkah menuju kamarnya. Dilihatnya dari nomor yang tidak dia kenal, dia mengangkatnya, “Halo! Buruan sayang, aku sudah lama menunggu nih!” suara dari ponsel itu yang ternyata suara seorang cewek.
“Sayang? Aku masih sekolah, tidak ada sayang-sayangan! Ini siapa?” kata Satria tegas, lalu tiduran sebab hari semakin larut malam.
“Jangan bercanda sayang! Aku sudah cape menunggumu nih!” kata cewek itu dengan manja.
“Aku tidak pernah sayang-sayangan! Mbak salah sambung!” kata Satria.
“Ini siapa?” tanya cewek itu.
“Aku Satria, sekolah di SMA Masa Depan!” jawab Satria.
“Satria? Hari gini punya nama kok Satria sih? Bukankah nama itu nama di zaman Piramida atau Majapahit? Ah sudah tahu salah sambung tidak mau bilang dari tadi! Cape ngomong nih!” kata cewek itu langsung menutup ponselnya tut, tut, tut. Satria terdiam sesaat, nomor itu menelepon lagi.
“Halo! Iya salah! nomor yang ku tuju belakangnya satu, nomormu belakangnya nol. Kamu tidak mau bilang mulai tadi kalau nomornya salah!” kata cewek itu.
“Memangnya mbak ini mau menelepon siapa sih, malam-malam begini?” tanya Satria.
“Aku mau menelepon Anto, pacarku!” jawab cewek itu. Anto? Nama pacarnya? Nama zaman sekarang? Haduh, Satria menutup teleponnya. Dia matikan juga ponselnya biar tidak ada yang mengganggu tidurnya dimalam ini.
Cewek itu kembali menelepon nomor Satria, ‘Nomor yang anda tuju sedang bobok manis atau bermimpi indah, cobalah esok hari atau di lain hari!’ Tut, tut, tut.

Pengalaman saya

Hy, Nama saya Indah Devitri,,,,,,
Sekarang saya kuliah di Politeknik Negeri Padang dengan jurursan akuntansi....
Masuk kuliah itu ternyata tidak seperti kita bayangkan, tidak seperti sinetron ftv....
Awalnya pengen kuliah sambil kerja,,,,
Waktu saya SMK saya jauh dari orang tua, awalnya saya merasa tidak bisa hidup dari orang tua krna dari kecil saya tidak pernah jauh dari orang tua, pas SD saya di tinggal orang tua saya itu pun bersama nenek saya karna saya sudah mulai pesantren ramadhan. Pada saat siang saya tidak merasa kehilangan orang tua, tetapi pas malam hari lah saya baru menangis dan merasa kehilangan.  Sampai saudara saya bilang kalau saya itu bukan orang padang, krna saya lebih dekat dengan keluarga dari papa saya.
Pas SMK saya sudah harus mengatur keuangan saya dan adik saya yg mana pada saat itu saya di kasi jajan bulanan, dan jika saya tidak bisa mengatur keuangan dengan baik maka siap-siap saya akan kehabisan uang jajan.
Dari situ saya belajar hidup mandiri, semua saya kerjakan sendiri, dan jumpa orang tua hanya satu kali dalam setahun. Setiap seminggu sebelum puasa saya sudah libur sekolah krna saya ingin berpuasa bersama keluarga yg ada d padang.
oh yaa saya lupa ne saya SMK di Kisaran, Sumatera Utara, dan saya berasal dari kota Padang, Sumbar. 
Pas selesai ujian saya  disuruh mengikuti pendaftaran kuliah jalur SNMPTN oleh pihak sekolah, dan saya mengikuti saran dari guru saya, dan pilihan pertama saya d USU dengan jurusan Akuntansi, pilihan ke-2 UNAND dengan jurusan Manajemen Informatika dan pilihan terakhir UNP denhgan jurusan Ekonomi Pembangunan.  Dengan sisa waktu 2 minggu lagi saya nikmati untuk bersenang-senang bersama sahabat saya dengan semaksimal mungkin karna saya akan melanjutkan pendidikan dikota kelahiran saya. Berat sich kembali ke daerah kelahiran krna bnyak hal dan pengalaman berharga yang saya dapatkan di tmpat saya bersekolah dulu. Tapi mau gimana lagi saya harus mengikuti kata orang tua saya.
setelah 1 minggu saya di Padang hasil SNMPTN pun keluar dan ternyata saya tidak lulus di universitas manapun, saya putus asa, dan salah satu guru saya menanyakan tntang hasil tersebut dan saya pun mnceitakan hasil yang saya dapatkan, guru saya pun menyarankan agar saya mengikuti jalur SMBPTN, saya pun mengikuti saran guru saya mengambil dengn pilihan yang sama dengan SNMPTN, dan hasilnya pun mengecewakan.
Saya pun menjadi tambah putus asa, dan akhirnya saya menghubungi salah satu teman lama saya yang ada di padang yang mana dia lebih tua dari saya 2 th, skrg dya sudah menginjak semester 3 di kampus yang sama dengan saya. Dia memberi informasi di PNP ada jalur SNUN, saya pun mencoba mendaftar dan akhirnya saya lulus dengan jurusan akuntansi.
Itu bener-bener moment yang saya dan keluarga saya tunggu, karna saya ingin sekali kuliah di lingkungan UNAND walaupun tidak di UNAND setidaknya di lingkungan UNAND.
Mencoba kuliah ternyata kuliah itu tidak seperti yang di bayangkan dan tidak seperti FTV, yang bisa bersantai-santai dan bersikap seenaknya. Tapi saya yakin apa pengorbanan yang saya lakukan dan pengorbanan dari orang tua saya dapat menghasilkan hal yang memuaskan.